Seperti kita pahami bersama, perkawinan merupakan suatu hal yang sacral, agung
dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin
serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena
perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata,
tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan, istilah popular sekarang dikenal
perkawinan menuju keluarga “Sakinah Mawadah Warahmah”.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Kemudian Masyarakat Hukum Adat yang ada di bumi Nusantara tercinta ini, menurut
Hazairin (1977) setidaknya ada 250 etnis yang eksis memiliki “Masyarakat Hukum
Adat” salah satu seperti misalnya keberadaan hukum Adat perkawinan Tolaki
dengan Adat Kalosara sebagai jatidiri dan karakter suku bangsa Tolaki yang
mendiami daratan pulau Celebes Tenggara alias Provinsi berlambang kepala Anoa
Sultra, mereka bermukim di bekas Kerajaan Mekongga kini wilayah Kabupaten
Kolaka dan sekitarnya dan kerajaan Konawe kini wilayah Kabupaten Konawe
Selatan, Konawe Utara dan Kota Kendari.
Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan
keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan.
Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk
memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak misalnya, selain itu tempat
perkawinan yang bersangkut paut dengan warisan, kedudukan alias status dan
harta perkawinan.
Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti
misalnya Adat “PEREPUA” Tolaki, maka perkawinan merupakan suatu “nilai hidup”
untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial
yang bersangkutan seperti hukum adat perkawinan Tolaki. Disamping itu
adakalanya suatu kekerabatan yang telah jauh yaitu “ASOMBUE” yang artinya asal
usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian
kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian
dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai
melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain.
Kemudian terselenggara perkawinan adat istiadat adalah perkawinan yang
dilaksanakan menurut hukum adat setempat dengan tidak mementingkan
peraturan-peraturan agama misalnya. Disinilah sasaran tulisan singkat ini yaitu
membicarakan perkawinan Adat Tolaki yang berlangsung sejak terbentuknya
kerajaan tradisional Mekongga dan Konawe di Landolaki sekitar abad 16 Masehi
hingga kini memasuki era globalisasi. Dimana penyelenggaraan perkawinan suku
Tolaki senantiasa disertai acara upacara adat perkawinan tolaki yang kesemuanya
itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan.
Untuk memudahkan sidang pembaca mengikuti alur tulisan singkat ini, akan
diuraikan selain membicarakan secara deskripsi upacara adat perkawinan Tolaki
akan diuraikan pengertian dan kedudukan Kalosara dalam acara upacara adat
perkawinan, model atau tata cara menggelar adat perkawinan, wanita yang pantang
jadi istri, terakhir ketika melanggar upacara adat perkawinan tolaki.
Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki
Seperti kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi
Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti
memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut
tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki
acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan
dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda
adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki
(Muslimin Suud 2005).
Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya
berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,”
sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu
atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua,
paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon
yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984).
Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara
Adat perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip
meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan.
Ketiga,”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo
Niwule” yang artinya meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan
pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan
diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan
Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan
Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan
sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga
besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal,
kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar
posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina
keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin.
Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah,
pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai
symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar
wanita tersebut.
Pengertian dan Kedudukan Kalosara
Dalam Perkawinan Adat Tolaki.
Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang
Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya
membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau
perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena
membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda
menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda
Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana
disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan
rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Kini diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama
benda Kalo diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo
adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai”
dipilih tiga buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah
kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar
atau sirkel sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika
garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati
keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat
Camat kebawah.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah
pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua
ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah
adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan
itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna
merendahkan diri pihak pengaju.
Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda
Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini
seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud
pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai
“konsep” maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985).
Berkaitan fungsi Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat
dan sakti” yakni keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan /
cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki.
Namun hanya benda Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki
dimanapun mereka berada hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011).
Pertanyaan berikutnya, dalam kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki,
mengapa harus “Wajib” disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan?
Karena dengan menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat
atau Norma Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan
perkawinan Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina
Rumpun Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali
silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol
penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas.
Kemudian dalam perjalanan sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk
di wilayah Andolaki, menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau
O’Sara sebagai nilai dan norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika
prosesi Adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako
harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan
menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul.
Berbicara perkawinan Islam, sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi
dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka
resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang
Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas,
belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki.
Tujuan digelar adat Kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula
penyerahan “Popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang
artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas
bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian
jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat tersebut
diatas alias melanggar adat, maka patut dipertanyakan keberadaannya.
Prosedur dan Tata Cara Menggelar
Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki.
Yang dimaksud prosedur dan tata cara disini adalah penggunaan benda Adat Kalo
dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat
Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur
jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona
Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Seperti apa dan bagaimana tata cara acara upacara “Mohindahako” yang diperankan
kedua perangkat adat diatas ? Mereka harus tampil sukses membawa missi,
tanggung jawab terletak dipundak mereka. Seperti kemampuan “Negosiasi”, cara
duduk, pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai
secara baik, sebelum maupun sesudah acara upacara “Mewindahako”, sebabnya
aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi apalagi
keluar dari koridor aslinya.
Selain disebutkan diatas, wajib dipahami adalah “isi adat” disebut “Polopo”
untuk ditunaikan disaat “Mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak
boleh kurang menurut “Sara”, pasti kena denda adat, malah bisa ditolak sidang
pemangku adat.
Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat (1) “Pu’uno Kasu” yang
artinya isi pokok adat terdiri (1) seekor kerbau, (2) sebuah gong, (3) emas
perhiasan wanita dan (4) satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi
@ dua puluh lima ribu rupiah, kecuali kain kaci tetap ditampilkan (2) “Tawano
Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat (3) “Ihino Popolo” artinya
seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan (4) “Sara
Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang
tua atas pengasuhnya.
Jika seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat
isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip
“Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati
diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara”
artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Satu lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki.
Apakah Anda pernah melihat atau menyaksikan “bentuk lain” ketika digelar
upacara Adat perkawinan Tolaki ? Disana ada system adat disebut perkawinan
“Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan
yakni acara “Mendutudu” dan acara “Mondongo Niwule”. Perkawinan
“Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan
yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan Mowindahako”. Disinilah adat
perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika tadinya 5 tahapan
dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut.
Dari pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang
Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah
peranan Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas
musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami
“siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada
Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria
membayar biaya popolo misalnya.
Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri
Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki
“perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di
Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi
perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari
orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut.
Seperti apa saja perkawinan terlarang itu ? Yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung
atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan
bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung. Kecuali yang sering dilanggar
seperti “Mosoro Rongo” atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada”
artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan
janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung.
Ketika terjadi pelanggaran kawin “Tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara
kandung istri dan semacamnya. Pada jaman tempo doeloe sebelum masuk ajaran
agama masih dapat ditoleril, namun resikonya harus dicerai istri pertama.
Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “Inces Tabu” diatas, maka
wajib diadakan suatu upacara Adat “Mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga
menolak bala atas pelanggaran perkawinan “Musibah” tersebut (A. Rauf, 1985).
Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada
poin Pertama hingga keempat diatas maka, tidak ada ampun alias kompromi. Mereka
harus “dibunuh” secara diam-diam atau dibuang dari kampung atau masyarakat.
Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum.
Kini diuraikan wanita paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu
sekali, sepupu dua kali, tiga kali, ini disebut kawin “Mekaputi” artinya
ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Apa yang melatar belakangi
perkawinan “Mekaputi” semacam diatas? Kata mereka agar harta kekayaan tidak
jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga
asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan.
Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi
Upacara Adat Perkawinan Tolaki
Ada lima “Model” perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak
muda Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar”
hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari alias silariang (2) Kawin sudah hamil
diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale (4) Kawin dilaporkan
kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang
Indehoi atau berhubungan seks. Nah dari semua perilaku kawin tidak normal
diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang
kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan
tersendiri.
Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya
datang “Membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang
dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib
menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham alias bombe yang
mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka.
Kini ditampilkan salah satu contoh kasus perkawinan resmi alias normal, namun
belum dilaksanakan upacara perkawinan Adat Tolaki. Seperti misalnya kasus
pasutri ketika “melangkahi” upacara Adat perkawinan Tolaki. Mungkin Pasutri
tersebut tidak tahan lagi ingin cepat berumah tangga ? Hal ini diketahui ketika
menikah lewat KUA. Bahkan telah memiliki “buah hati” kini duduk dibangku SD.
Namun belum “dihadapkan” tokoh adat “Puutobu” dan “Toono Motuo” untuk ditangani
Tolea-Pabitara alias digelar adat “Kalosara” Pasturi diatas tetap melaksanakan
tahapan-tahapan perkawinan Adat Tolkai dengan menggelar acara “Mowindahan”.
Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhka
kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian
dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalau ditaati anggota
masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona
Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang
menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia
tidak akan dihormati.
Sebagai penutup, ketika berbicara prosedur dan tata cata menggelar acara
upacara Adat perkawinan Tolaki dikaitkan sebagaimana judul diatas, muncul
pertanyaan dikalangan masyarakat awam. Apakah masih relevan keberadaan “upacara
Adat perkawinan Tolaki” dewasa ini ? Kenyataan memang disana-sini mengalami
“pergeseran nilai” atas tuntutan perkembangan zaman serta dinamikan masyarakat,
namun tidak keluar dari koridor aslinya.
Jika kita amati seksama atas tinjauan perspektif upacara Adat perkawinan Tolaki
secara kontekstual nampaknya mampu “menyesuaikan” kondisi dan perkembangan
serta tuntutan masyarakat dewasa ini. Dimana kedudukan dan fungsi Kalosara
mampu “menyemangati” prinsip “Mesambepe Meambo” yang artinya berlaku asas
musyawarah mufakat dalam hal menaati koridor adat istiadat Tolaki.
Ta’abe Inggomiu Anakia, Nggo Meparamesi !