Senin, 13 April 2015

makanan khas suku tolaki

MAKANAN KHAS SUKU SULAWESI TENGGARA


Bagi masyarakat yang telah lama tinggal di Sulawesi Tenggara, siapa yang tidak kenal dengan Sinonggi?. Pastinya hampir warga sultra sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan sinonggi. Bagi yang belum tahu, mari simak artikel yang dikutip dari beberapa sumber.

Sinonggi adalah makanan khas suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara, Indonesia, yang terbuat dari pati sari sagu. Suku Tolaki memiliki tradisi menyantap sinonggi bersama-sama yang disebut mosonggi. Bagi Suku Tolaki, sinonggi merupakan makanan pokok yang kini telah mengalami pergeseran makna dan bersaing dengan nasi.

Sagu (@al_habib21)
Sinonggi adalah makanan pokok Suku Tolaki yang terbuat dari pati sari sagu. Di Sulawesi Selatan, masakan yang serupa dikenal dengan nama kapurung dan di Kepulauan Maluku disebut papeda. Meski masakan-masakan tersebut memiliki kemiripan bahan, cara penyajiannya berbeda. Untuk sinonggi, tepung sagu yang sudah dimasak tidak dicampurkan dengan sayur, kuah ikan, sambal ("dabu-dabu"), atau bumbu lainnya, namun tergantung selera masing-masing. Bagi suku Tolaki, sinonggi dahulu merupakan makanan pokok, namun saat ini telah menjadi makanan sekunder pengganti beras pada masa paceklik.
Sejarah Sinonggi
Walaupun merupakan makanan khas Suku Tolaki, belum ada yang mengetahui sejak kapan Suku Tolaki mengonsumsi sinonggi. Namun, makanan ini sudah ada sejak ratusan tahun silam layaknya beras. Mitos Tolaki menyebutkan bahwa pohon sagu bahan baku Sinonggi tumbuh dengan sendirinya di perkampungan Kuko Hulu di Sungai Konaweha, yang kini bernama Latoma Tua. Dalam bahasa Tolaki, ia disebut "sowurere", yang artinya "suatu kampung yang ditumbuhi ribuan pohon sagu". Lokasinya persis di dekat Tongauna, Kecamatan Ulu Iwoi, Kabupaten Kolaka. Versi lain menyebutkan bahwa pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa tersebut, sebetulnya berasal dari Maluku.
Nama sinonggi diyakini budayawan lokal berasal dari kata posonggi.Posonggi atau o songgi (bahasa Tolaki) merupakan alat mirip sumpit terbuat dari bambu yang dihaluskan dengan ukuran panjang kurang dari sepuluh sentimeter. Alat inilah yang digunakan untuk mengambil sinonggi dari tempat penyajian. Dengan cara digulung, sinonggi diletakkan ke piring yang telah diisi kuah sayur dan ikan serta bumbu lainnya. Gulungan sinonggi di piring kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam mulut menggunakan alat serupa yang berukuran lebih kecil atau dengan jari. Sinonggi biasanya tidak dikunyah, tetapi ditelan langsung.
Dahulu orang tua menyimpan sinonggi dalam dulang yang terbuat dari kayu. Dulang dalam bahasa Tolaki adalah "odula". Seiring perubahan zaman, sinonggi mulai tidak disimpan dalam dulang kayu melainkan dalam baskom. Perubahan ini diyakini penikmat sinonggi telah mengurangi kelegitan rasanya yang khas. Begitu pula dengan penggunaan posonggi yang menghilang, saat ini orang lebih banyak langsung menggunakan tangan atau memakai sendok untuk mengkonsumsi sinonggi. (wikipedia)

Cara Penyajian
Sebelum dimasak, pati sagu direndam di dalam baskom, atau sejenisnya, dengan menggunakan air dingin selama satu malam. Biarkan hingga mengendap. Kemudian air dibuang. Ketika akan diolah menjadi makanan, sagu dicairkan dengan air dingin secukupnya. Lalu, siramkan air panas (sampai mendidih) sedikit demi sedikit sambil sagu diaduk-aduk hingga mengental. Orang bilang, ia menyerupai lem.
Sebaiknya, sebelum sagu diolah menjadi makanan siap saji, sayur, kuah ikan, serta sambal sudah disiapkan. Jadi bisa langsung dimakan pada saat sinonggi masih panas. Sayur dan sambal juga akan lebih nikmat jika ditambah dengan daun kemangi dan jeruk purut. Di Kendari, jeruk purut dikenal dengan nama jeruk Tolaki.
Cara Makan
Cara makan Sinonggi ini adalah pertama-tama air kuah, bisa air kuah sayur yang sudah terpisah tadi atau bisa juga air kuah ikan atau daging/ayam yang dimasak tawaoloho, atau campuran keduanya sesuai selera diambil secukupnya dipiring kemudian ditambahkan perasan jeruk purut (bahasa lokal: jeruk Tolaki), lalu Sinonggi atau sagu yang telah kental tadi diambil dengan cara digulung memakai posonggi (sumpit) dimasukkan kedalam kuah tadi kemudian dicampur dengan sayur dan lauk ikan, daging/ayam serta tentu tidak ketinggalan sambal terasi plus mangga mudanya.
Kandungan Serta Manfaat Sinonggi
Sinonggi juga memiliki kandungan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.Sinonggi termasuk makanan yang menyegarkan dan sehat. Selain sayuran dan lauknya dimasak dengan bumbu yang tidak terlalu banyak (masak bening), menurut penelitian litbang deptan Sagu sebagai bahan baku utama dikenal memiliki kandungan karbohidrat sekitar 85,6%, serat 5% dan untuk 100 gr sagu kering setara dengan 355 kalori. Selain mengandung karbohidrat juga mengandung polimer alami yaitu semacam zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia seperti memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus. Selain itu, serat pada sagu juga mengandung zat yang berfungsi sebagai probiotik, meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengurangi resiko terkena kanker usus dan paru-paru.
Masonggi lebih enak jika disajikan dengan pelengkap makanan seperti ikan, sayur bening, sayur santan atau makanan pilihan lainnya. Tergantung selera. Biasanya lebih terasa nikmatnya jika disajikan bareng-bareng teman, keluarga bhkan sinonggi menjadi menu wajib ibu-ibu arisan.
Sinonggi, makanan khas suku Tolaki ini tidak hanya khusus suku Tolaki, tapi juga sudah banyak digemari oleh masyarakat lain yang ada di Sulawesi Tenggara, baik anak-anak, remaja dan orang dewasa. Bahkan kini sudah menjadi pengganti makan siang beberapa warga kota Kendari.
Saat ini, Sinonggi telah masuk ke hotel-hotel sebagai menu khas Sulawesi Tenggara sebagai salah satu menu dalam perjamuan tamu-tamu pemerintah setempat. Di Kota Kendari, kini warung atau restoran yang menyajikan makanan khas suku tolaki ini sudah banyak, dan bahan bakunya tersedia di pasar tradisional. 


Walikota Kendari berwisata Kuliner dgn pejabat
pemerintah daerah lain (@nyomanheru)


tempat wisata di wundulako



Gua Watuwulaa



 

 

Gua Watuwulaa merupakan Salah satu objek wisata yang letaknya berada di bagian Timur Kelurahan Silea Kecamatan Wundulako. Dalam bahasa Daerah Mekongga Watuwulaa berarti “Batu Emas” dikatakan demikian karena dari beberapa penutur sejarah di Gua ini merupakan tempat disimpannya harta-harta Sangia Lombo-lombo atau yang dikenal juga sangia Sangia Sinambakai dan sumber lisan lainnya menyebut Sangia Ndapetoala, di Gua ini juga pernah ditemukan artefak sejarah seperti Piring Perak dll. Gua Watuwulaa ini memang tidak seperti Gua-gua lain yang ada di Kab. Kolaka yang sudah diketahui oleh orang banyak dan bahkan sering dikunjungi seperti Gua Firdaus yang ada di Taman Wisata Alam Ulunggolaka atau Gua Tengkorak yang ada di Uluiwoi.
Akan tetapi Gua Watuwulaa tidak kalah dengan gua-gua lainnya dimana Gua Watuwulaa menyimpan nilai historis yang cukup tinggi, dalam literatur kebudayaan mekongga Gua Watuwulaa merupakan tempat peristirahatan Bokeo Mekongga yang ke 6 yaitu Sangia Lombo-lombo (sabulombo) ketika sakit, dan disebutkan pula bahwa Sangia Lombo-lombo yang ketika wafat mendapat gelar Sangia Sinambakai dan sumber lisan lainnya menyebut Sangia Ndapetoala dan dikuburkan (Niduni) di Gua Watuwulaa.
Referensi lain juga menyebutkan bahwa pada kisah Larumbalangi melawan Konggaha, Larumbalangi yang bersiap menyerang konggaha dan naik ke puncak osu mbegolua memerintahkan kepada masyarakat untuk berlindung ke Gua Watuwulaa.
Gua Watuwulaa juga menyimpan beberapa kekayaan dan peninggalan sejarah, seperti yang pernah ditemukan sebelumnya
Untuk melihat Gua Watuwulaa di Kelurahan Silea Kec. Wundulako tidaklah sulit dengan jarak yang cukup dekat ± 3 km dari pusat pemukiman Kelurahan Silea dan untuk menempuh lokasi Gua Watuwulaa dapat menggunakan kendaraan roda 2 maupun roda 4 dengan waktu tempuh ± 15 menit dengan kendaraan.
Rute yang dilalui yaitu melalui Jl. Nanggomba (lr. Koramil Wundulako) atau melalui Jl. Sangia nibandera Desa Tikonu dan terus menyusuri jalan pengairan menuju Bendungan Wundulako, dari Bendungan Wundulako kita dapat berjalan kaki sembari menikmati kesejukan hutan dan perkebunan atau juga dapat tetap menggunakan kendaraan. Sesampai di ujung jalan kita kemudian menempuh trek pegunungan ± 200 meter dengan kemiringan bukit 500.
Gua Watuwulaa berada di bawah akar pohon besar, terdapat dua mulut Gua yang dapat kita jumpai, seperti halnya gua-gua lain yang ada di Kab. Kolaka ketika kita berada di mulut Gua kita akan mencium aroma yang kurang sedap, itu dikarenakan Kondisi Gua yang juga merupakan tempat tinggal bagi ratusan ekor kalelawar.
Bentuk Gua yang vertikal membuat kita harus berhati-hati untuk dapat masuk kedalamnya, apalagi di mulut Gua terdapat beberapa reruntuhan batu yang diakibatkan beberapa penjarah yang pernah masuk kedalamnya.
Bagi anda pecinta alam terkhusus pecinta caving, Gua Watuwulaa dapat anda eksplorasi karena dari beberapa sumber dikatakan belum ada yang mengeksplorasi gua ini sampai ke lantai dasarnya


Wisata Religi ke Makam Raja Mekongga Kolaka



 

Bagi penggemar atau penikmat wisata religi mungkin perlu mengetahui keberadaan makam Raja Sangia Nibandera yang terletak di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Bagi warga Kolaka dan sekitarnya, menjadikan makam tersebut sebagai tempat wisata religi. Pasalnya, Raja Sangia Nibandera ini adalah raja pertama bagi Suku Mekongga (suku asli Kolaka) yang memeluk agama Islam serta menyebarluaskan agama Islam di tanah Kolaka.
Letaknya hanya berjarak 15 kilometer dari pusat kota, atau tepatnya di Desa Tikonu. Untuk mencapai tempat ini para pengunjung hanya membutuhkan waktu 15 menit dengan menggunakan kendaraan roda empat atau dua dari pusat Kolaka.
Setibanya di sana, Anda akan merasakan perbedaan yang luar biasa. Terhindar dari hiruk pikuk kota, suara bising kendaraan dan kepenatan kota. Anda akan disuguhkan pemandangan yang asri nan memiliki nilai mistik tersendiri. Pohon yang menjulang tinggi, udara yang terasa dinign dan asri, serta kicauan burung memberikan nilai tersendiri. Ditambah lagi suara ranting yang tua jatuh ke tanah seakan memberikan daya mistik tersendiri di dalam kompleks makam.
Usia makam raja tersebut diperkirakan sekitar 300 tahun. Demikian pula dengan sejumlah pohon besar jenis kapuk hutan yang menjulang tinggi disertai ribuan akar yang sudah memenuhi sekitar kawasan makam, diperkirakan seumur dengan makam raja tersebut.
Dalam kompleks ini, pengunjung akan melihat tiga makam di mana cerita warga sekitar kalau dua makam yang mengapit makam utama adalah istri atau permaisuri sang raja tersebut. Dari kejauhan akan terlihat batu nisan yang setinggi 30 cm berdiri tegak di atas tumpukan tanah makam. Nisan ini seakan menggambarkan kejayaan Raja Sangian Nibandera di masa kepemimpinannya.
Apabila Anda beruntung, di dalam lokasi seluas kurang lebih dua hektar ini Anda akan melihat atau mendapatkan acara prosesi adat Suku Mekongga. Namun untuk masuk kedalam kompleks makam yang sangat dikeramatkan oleh warga Kolaka ini, pengunjung harus didampingi juru kunci makam tersebut yang bernama Muh. Jabar.
Sang juru kunci pun memberitahukan sejumlah pantangan yang tidak boleh kita lakukan di dalam makam tersebut, contohnya harus bersikap sopan dan tidak takabur. Sebab menurut dia sudah banyak contoh yang terlihat ketika pengunjung yang memasuki kompleks makam dengan niat tidak baik.
"Pernah ada anak SMA yang masuk kedalam kompleks makam, niatnya memang untuk pacaran dan tidak lama kemudian mereka kerasukan. Yang jelasnya kita harus sopan dan punya niat baik kalau datang ke makam ini. Sebab selain dihargai dan dikeramatkan. Makam ini juga adalah salah satu situs budaya peninggalan orang tua dulu dan harus kita jaga. Baik dalam pemeliharaan juga dalam menyikapi," papar Jabar.
Dalam kompleks makam Anda akan merasa berada di sebuah kerajaan yang megah. Tatanan tanaman hias dan berbagai bunga yang mengembangkan kemegahannya tertata rapi di lorong setapak menuju makam. Belum lagi suara gemercik air dari sebuah sungai kecil yang berada pas di tengah-tengah kompleks pemakaman.
Pengunjung pun akan disambut kicauan berbagai burung yang seakan bernyayi menyambut pengunjung yang datang. Untuk berwisata di kompleks ini memang berbeda dengan tempat wisata pada umumnya. Di tempat ini tak nampak keriuhan pengunjung. Senyap dan penuh penghayatan untuk mengenang para leluhur.
Anda tidak perlu takut dan merasa canggung, pasalnya juru kunci di makam ini sangat ramah kepada siapa pun yang datang. Sesekali dia akan bercerita sejarah dari makam tersebut dan sejarah Raja Sangia Nibandera. Jadi kedatangan Anda di makam yang bersejarah ini patut diagendakan dan akan menjadi cerita menarik ketika Anda meninggalkan makam Raja Sangia Nibandera.







Top of Form

Bottom of Form



jenis rumah adat tolaki



JENIS RUMAH ADAT TOLAKI

Jenis-jenis tempat berlindung dan tempat tinggal telah banyak mendapat perhatian dari para antropolog. Aneka bentuk perlindungan telah teridentifikasi dalam bentuk literatur antropologi beteckning. Hasil identifiksi tersebut menunjukan bahwa, tempat tinggal/berlindung yang terbuat dari kayu, bambo serat, jerami serta kulit kayu dapat dijumpai disetiap benua. Rumah yang terbuat dari tanah liat dapat dijumpai di daerah-daerah yang sangat kering sekali dengan curah hujan sangat rendah (afrika).
Secara antropologis, bentuk rumah manusia dikelompokan ke dalam tiga jenis, yaitu: rumah yang setengah dibawah tanah (semi-subterranian dwelling), rumah diatas tanah (suface dwelling), rumah diatas tiang (pile dwelling). Dari sudut penggunaannya, tempat berlindung dibagi tiga golongan, yaitua: tadah angin, tenda atau gubuk yang bisa dilepas, dibawa dan dipasang lagi; serta rumah untuk menetap. Rumah untuk menetap memiliki beberapa fungsi sosial. Diantaranya rumah tempat tinggal keluarga inti, tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum serta rumah pertahanan.
Secara universal rumah tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga), yang berarti rumah ada juga istilah yang menunjukan rumag seperti poiaha. Pada masa lalu laika pada orang Tolaki masih dikenal oleh beberapa daerah ini dapat ditelusuri dari toponimi daerah seperti Desa Laikaaha Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan di daerah ini pernah berdiri laika aha atau rumah induk yaitu rumanya penguasa Kerajaan Konawe daerah sebelah barat Tambo tepuliano Oleo Kerajaan Konawe yaitu Sorumba bekas rumah tersebut masih dapat kita saksikan secraa arkeologis. Terdapat juga nama daerah yang menggunakan nama Desa Laikaaha terletal di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Sekarang hal ini sesuai sumber yang diungkapkan oleh Paul und Frederic Sarasin (1904) yang merupakan rumah kepala adat atau kepala suku (Pu’u tobu). Bentuk tipologi rumah adat juga pernah berdiri di daerah Wawonggole yang dikenal dengan laika sorume. Pada paruh tahun 1904-1960an di daerah ini masih kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika Kataba salah satunya Kataba Pu’u tobu Tongauna, Kataba Sembe Benua, dll. Rumah tinggal ini ada beberapa jenis yang dapat dijelaskan sbb:
a. “Laika Mbu’u” (rumah induk atau rumamh pokok)
Laika mbu’u (di konawe), laika raha (di mekongga/kolaka), artinya rumah pkok. Disebut demikian karena bentuknya lebih besar daripada rumah biasa. Rumah semacam ini didirikan dipinggir kebun atau ladang menjelanga akan dimulainya panen dan biasanya ditempati oleh beberapa keluarga.
b. Rumah di kebun “Laika Landa”
Laikan landa, yakni jenis rumah tinggal yang didirikan ditengah-tengah atau dipinggir kebun dan didiami oleh satu keluarga. Rumah ini ditempati selama proses pengolaan kebun sampai selesai. Setelah selesai panen dan padi sudah selesai disimpan dilumbung padi (o’ala), rumah ini biasanya ditinggalkan jadi laika ini bukan tempat tinggal permanen.
c. Patande
Laika patande adalah jenis rumah yang didirikan titengah-tengah kebun sebagai tempat istirahat. Bentuk konstruksi bangunannya lebih kecil daripada laika landa di atas.
d. Laika kataba
Laika kataba adalah jenis rumah papan. Bahan-bahannya terdiri dari balok dan papan. Rumah ini didirikan dengan memakai sandi atau kode tertentu, jenis rumah ini masih kita temukan di daerah kabupaten konawe di kelurahan lawulo, kecamatan anggaberi yang dibangun oleh Dr. H. Takahasi Rahmani, M.Ph.
e. Rumah penguburan (Laika sorongga atau laika nggoburu)
Laika sorongga atau laika nggoburu yaitu rumah makam bagi raja (mokole/sangia) pada masa laludi kerjaan konawe atau rumah makam bagi keluarga raja, pada rumah tersebut tinggal beberapa rumah tangga budaknya untuk menjaga makam tersebut yang di dalamnya terdapat soronga. Pada masa lalu rumah soronga atau laika nggoburu terdapat didaerah meraka wilayah Kecamatan Lambuya sekarang.
f. Rumah Pengayauan “Laika Mborasaa”
Laika Mborasaa, adalaha jenis rumah yang didirikan pada suatu tempat sebagai tempat penjagaan dan sebagai tempat istirahat bagi orang-orang yang telah melaksanakan tugas mengayau (penggal kepala) ke beberpa tempat di daerah sulawesi tenggara. Pada zaman dahulu pra pemerintahan Belanda, rumah ini sering menjadi sasaran para penjahat untuk merampok orang-orang yang hendak lewat istirahat di laika mborasa’a untuk istirahat. Jenis rumah ini hanya satu buah yaitu bertempat di lalondae (kabupaten kolaka sekarang), jenis rumah ini sudah tidak ditemukan lagi.
g. Rumah tempat tinggal Raja “Komali”
Komali adalah jenis laika owose (rumah besar), khusus untuk tempat tinggal Raja. Rumah semacam ini tinggi dan kuat. Bahan-bahannya tetrdiri dari kayu, bambu dan atapnya terbuat dari rumbia. Pada bagian tertentu rumah ini ditemukan ukiran (pinati-pati).
h. Laika wuta
Laika wuta adalah jenis rumah tempat tinggal yang lebih kecil dari laika landa. Bentuk atapnya seperti rumah jengki.
i. Raha Bokeo rumah Raja di daerah Mekongga Kolaka
Raha bokeo (di kolaka), adalah jenis rumah tempat tinggal raja-raja (bokeo) Mekongga di Kolaka, ukurannya besar jumlah tiangnya 70 buah, yang terdiri rumah induk 25 tiang, ruang tambahan (tinumba) atau ancangan 20 tiang (otusa), teras depan (galamba) 10 tiang dan dapur (ambolu) 15 tiang. Sedangkan raha bokeo untuk ukuran sedang jumlah tiangnya 27 buah, yang terdiri dari rumah induk 9 tiang, ruang tambahan (tinumba) 6 tiang, teras depan (galamba) 3 tiang dan dapur 9 tiang.
j. O’ala (tempat penyimpanan padi)
O’ala yaitu jenis rumah penyimpanan. Yang dimaksud rumah penyimpanan adalah segala bangunan yang dipergunakan untuk tempat menyimpan benda-benda keperluan hidup. Bangunan ini antara lain adalah tempat menyimpan padi yang disebut o’ala (ala mbae) berarti lumbung padi.
k. Laika walanda (rumah panjang gaya arsitek Belanda)
Laika walanda adalah jenis rumah panjang. Laika walanda juga dikenal dengan rumamh pesangrahan yaitu rumah yang biasanya digunaka oleh orang-orang Belanda untuk bersantai seperti berdansa ataupun pesta. Pada ruang tengah sepanjang rumah ini ada runag kosong, sedang dibagian kiri dan kanan terdapat ruang istirahat yang lantainya setinggi pinggang dan berpetak-petak. Model rumah ini seperti asrama memanjanng.
l. Laika mbondapo’a
Laika mbondapo’a adalah jenis rumah panggung tempat memanggang kopra. Bentuknya seperti rumamh jengki yang tidak memiliki diding (orini). Lantainya lebih agak tinggi dari dasar tanah. Pada saat pemakaiannya, panggung ini diselubungi daun kelapa sambil memberi pengapian dibawahnya.
Rumah tinggal suku Tolaki adalah rumah panggung yang berbentuk persegi empat panjang. Karena pada masa lalu belum dikenal ukuran meter, maka pembuatan rumah diukur dengan depa, misalnya 5 x 7depa dan seterusnya.

pernikahan suku tolaki



PERNIKAHAN ADAT TOLAKI

Seperti kita pahami bersama, perkawinan merupakan suatu hal yang sacral, agung dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata, tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan, istilah popular sekarang dikenal perkawinan menuju keluarga “Sakinah Mawadah Warahmah”.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Kemudian Masyarakat Hukum Adat yang ada di bumi Nusantara tercinta ini, menurut Hazairin (1977) setidaknya ada 250 etnis yang eksis memiliki “Masyarakat Hukum Adat” salah satu seperti misalnya keberadaan hukum Adat perkawinan Tolaki dengan Adat Kalosara sebagai jatidiri dan karakter suku bangsa Tolaki yang mendiami daratan pulau Celebes Tenggara alias Provinsi berlambang kepala Anoa Sultra, mereka bermukim di bekas Kerajaan Mekongga kini wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya dan kerajaan Konawe kini wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara dan Kota Kendari.
Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak misalnya, selain itu tempat perkawinan yang bersangkut paut dengan warisan, kedudukan alias status dan harta perkawinan.
Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti misalnya Adat “PEREPUA” Tolaki, maka perkawinan merupakan suatu “nilai hidup” untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan seperti hukum adat perkawinan Tolaki. Disamping itu adakalanya suatu kekerabatan yang telah jauh yaitu “ASOMBUE” yang artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain.
Kemudian terselenggara perkawinan adat istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama misalnya. Disinilah sasaran tulisan singkat ini yaitu membicarakan perkawinan Adat Tolaki yang berlangsung sejak terbentuknya kerajaan tradisional Mekongga dan Konawe di Landolaki sekitar abad 16 Masehi hingga kini memasuki era globalisasi. Dimana penyelenggaraan perkawinan suku Tolaki senantiasa disertai acara upacara adat perkawinan tolaki yang kesemuanya itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan.
Untuk memudahkan sidang pembaca mengikuti alur tulisan singkat ini, akan diuraikan selain membicarakan secara deskripsi upacara adat perkawinan Tolaki akan diuraikan pengertian dan kedudukan Kalosara dalam acara upacara adat perkawinan, model atau tata cara menggelar adat perkawinan, wanita yang pantang jadi istri, terakhir ketika melanggar upacara adat perkawinan tolaki.
Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki
Seperti kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki (Muslimin Suud 2005).
Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984).
Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga,”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo Niwule” yang artinya meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin.
Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut.
Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki.
Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Kini diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat Camat kebawah.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju.
Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai “konsep” maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985).
Berkaitan fungsi Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat dan sakti” yakni keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan / cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011).
Pertanyaan berikutnya, dalam kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki, mengapa harus “Wajib” disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan? Karena dengan menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat atau Norma Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina Rumpun Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas.
Kemudian dalam perjalanan sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk di wilayah Andolaki, menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau O’Sara sebagai nilai dan norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi Adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul.
Berbicara perkawinan Islam, sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas, belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki.
Tujuan digelar adat Kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “Popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat tersebut diatas alias melanggar adat, maka patut dipertanyakan keberadaannya.
Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki.
Yang dimaksud prosedur dan tata cara disini adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Seperti apa dan bagaimana tata cara acara upacara “Mohindahako” yang diperankan kedua perangkat adat diatas ? Mereka harus tampil sukses membawa missi, tanggung jawab terletak dipundak mereka. Seperti kemampuan “Negosiasi”, cara duduk, pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai secara baik, sebelum maupun sesudah acara upacara “Mewindahako”, sebabnya aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi apalagi keluar dari koridor aslinya.
Selain disebutkan diatas, wajib dipahami adalah “isi adat” disebut “Polopo” untuk ditunaikan disaat “Mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak boleh kurang menurut “Sara”, pasti kena denda adat, malah bisa ditolak sidang pemangku adat.
Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat (1) “Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri (1) seekor kerbau, (2) sebuah gong, (3) emas perhiasan wanita dan (4) satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi @ dua puluh lima ribu rupiah, kecuali kain kaci tetap ditampilkan (2) “Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat (3) “Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan (4) “Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhnya.
Jika seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Satu lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Apakah Anda pernah melihat atau menyaksikan “bentuk lain” ketika digelar upacara Adat perkawinan Tolaki ? Disana ada system adat disebut perkawinan “Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “Mendutudu” dan acara “Mondongo Niwule”. Perkawinan “Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan Mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika tadinya 5 tahapan dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut.
Dari pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah peranan Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami “siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria membayar biaya popolo misalnya.
Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri
Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut.
Seperti apa saja perkawinan terlarang itu ? Yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung. Kecuali yang sering dilanggar seperti “Mosoro Rongo” atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada” artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung.
Ketika terjadi pelanggaran kawin “Tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara kandung istri dan semacamnya. Pada jaman tempo doeloe sebelum masuk ajaran agama masih dapat ditoleril, namun resikonya harus dicerai istri pertama. Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “Inces Tabu” diatas, maka wajib diadakan suatu upacara Adat “Mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga menolak bala atas pelanggaran perkawinan “Musibah” tersebut (A. Rauf, 1985).
Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada poin Pertama hingga keempat diatas maka, tidak ada ampun alias kompromi. Mereka harus “dibunuh” secara diam-diam atau dibuang dari kampung atau masyarakat. Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum.
Kini diuraikan wanita paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu sekali, sepupu dua kali, tiga kali, ini disebut kawin “Mekaputi” artinya ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Apa yang melatar belakangi perkawinan “Mekaputi” semacam diatas? Kata mereka agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan.
Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki
Ada lima “Model” perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak muda Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari alias silariang (2) Kawin sudah hamil diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale (4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks. Nah dari semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan tersendiri.
Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham alias bombe yang mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka.
Kini ditampilkan salah satu contoh kasus perkawinan resmi alias normal, namun belum dilaksanakan upacara perkawinan Adat Tolaki. Seperti misalnya kasus pasutri ketika “melangkahi” upacara Adat perkawinan Tolaki. Mungkin Pasutri tersebut tidak tahan lagi ingin cepat berumah tangga ? Hal ini diketahui ketika menikah lewat KUA. Bahkan telah memiliki “buah hati” kini duduk dibangku SD. Namun belum “dihadapkan” tokoh adat “Puutobu” dan “Toono Motuo” untuk ditangani Tolea-Pabitara alias digelar adat “Kalosara” Pasturi diatas tetap melaksanakan tahapan-tahapan perkawinan Adat Tolkai dengan menggelar acara “Mowindahan”.
Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhka kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalau ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati.
Sebagai penutup, ketika berbicara prosedur dan tata cata menggelar acara upacara Adat perkawinan Tolaki dikaitkan sebagaimana judul diatas, muncul pertanyaan dikalangan masyarakat awam. Apakah masih relevan keberadaan “upacara Adat perkawinan Tolaki” dewasa ini ? Kenyataan memang disana-sini mengalami “pergeseran nilai” atas tuntutan perkembangan zaman serta dinamikan masyarakat, namun tidak keluar dari koridor aslinya.
Jika kita amati seksama atas tinjauan perspektif upacara Adat perkawinan Tolaki secara kontekstual nampaknya mampu “menyesuaikan” kondisi dan perkembangan serta tuntutan masyarakat dewasa ini. Dimana kedudukan dan fungsi Kalosara mampu “menyemangati” prinsip “Mesambepe Meambo” yang artinya berlaku asas musyawarah mufakat dalam hal menaati koridor adat istiadat Tolaki.
Ta’abe Inggomiu Anakia, Nggo Meparamesi !