Senin, 13 April 2015

tari khas suku tolaki


Tari lulo MOTAMBE khas suku TOLAKI

Mengenakan busana tradisional berwarna kuning menyala, dilengkapi selendang biru, dan ikat kepala merah, serta aksesoris kalung etnik. Para penari wanita muda dan cantik ini berlenggak-lenggok atraktif dan kadang gemulai mengikuti irama musik. Tarian itu kerap disuguhkan di berbagai acara khusus untuk menerima atau menjemput tamu kehormatan.
Soal seni budaya, Kota Kendari pun tak kalah dengan daerah lain. Kalau Aceh identik dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari Topeng Betawi, maka Kota Kendari pun memiliki beberapa tarian tradisional yang khas dan pantas dibanggakan, seperti Tari Monotambe dan Lulo.
Tari Monotambe atau tari penjemputan misalnya merupakan tarian khas Suku Tolaki yang kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu besar. Misalnya saat pembukaan Festival Tekuk Kendari (Festek) yang kerap dihadiri beberapa tamu penting dari Jakarta dan daerahlain. Sebagai catatan Suku Tolaki merupakan penduduk asli Kota Kendari sebagaimana Suku Betawi di Kota Jakarta.
Tarian ini dilakoni oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki sebagai pengawal. Para penari perempuanyya mengenakan busana motif Tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.
Sementar Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, dalam hal ini wisatawan.
Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran yang saling menyambung. Dalam sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari. Setiap tamu yang tidak bisa menari akan dianjarkan cara melangkah atau menari ala Tari Lulo oleh penari yang mengajaknya hingga terbiasa.
Tari Lulo ini pun kerap ditampilkan pada Festek. Bahkan pada perayaan tersebut, tari ini pernah ditampilkan secara kolosal dengan mengikutsertakan warga kota dan wisatawan yang datang. TC Alip
ota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukan dari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA” serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
- Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
- Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
- Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
- Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara, selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
- Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini.
PERNIKAHAN ADAT TOLAKI

 
 Seperti kita pahami bersama, perkawinan merupakan suatu hal yang sacral, agung dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata, tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan, istilah popular sekarang dikenal perkawinan menuju keluarga “Sakinah Mawadah Warahmah”.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Kemudian Masyarakat Hukum Adat yang ada di bumi Nusantara tercinta ini, menurut Hazairin (1977) setidaknya ada 250 etnis yang eksis memiliki “Masyarakat Hukum Adat” salah satu seperti misalnya keberadaan hukum Adat perkawinan Tolaki dengan Adat Kalosara sebagai jatidiri dan karakter suku bangsa Tolaki yang mendiami daratan pulau Celebes Tenggara alias Provinsi berlambang kepala Anoa Sultra, mereka bermukim di bekas Kerajaan Mekongga kini wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya dan kerajaan Konawe kini wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara dan Kota Kendari.
Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak misalnya, selain itu tempat perkawinan yang bersangkut paut dengan warisan, kedudukan alias status dan harta perkawinan.
Dikalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya seperti misalnya Adat “PEREPUA” Tolaki, maka perkawinan merupakan suatu “nilai hidup” untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan seperti hukum adat perkawinan Tolaki. Disamping itu adakalanya suatu kekerabatan yang telah jauh yaitu “ASOMBUE” yang artinya asal usul satu nenek moyang, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian kekerabatan. Sebagai contoh perkawinan itu sarana pendekatan dan perdamaian dahulu kala para bangsawan Tolaki ketika mencarikan jodoh putranya sampai melintasi wilayah suku bangsa tertentu, alias kawin dengan orang lain.
Kemudian terselenggara perkawinan adat istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama misalnya. Disinilah sasaran tulisan singkat ini yaitu membicarakan perkawinan Adat Tolaki yang berlangsung sejak terbentuknya kerajaan tradisional Mekongga dan Konawe di Landolaki sekitar abad 16 Masehi hingga kini memasuki era globalisasi. Dimana penyelenggaraan perkawinan suku Tolaki senantiasa disertai acara upacara adat perkawinan tolaki yang kesemuanya itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan.
Untuk memudahkan sidang pembaca mengikuti alur tulisan singkat ini, akan diuraikan selain membicarakan secara deskripsi upacara adat perkawinan Tolaki akan diuraikan pengertian dan kedudukan Kalosara dalam acara upacara adat perkawinan, model atau tata cara menggelar adat perkawinan, wanita yang pantang jadi istri, terakhir ketika melanggar upacara adat perkawinan tolaki.
Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki
Seperti kita ketahui bersama bahwa, suku-suku bangsa yang tersebar dimuka bumi Nusantara tercinta ini, bahkan mungkin dibelahan dunia sekalipun, pasti memiliki acara upacara adat atau kebiasaan-kebiasaan perkawinan adat menurut tradisi leluhurnya masing-masing. Demikian pula suku bangsa Tolaki memiliki acara upacara adat perkawinan dengan cirri khas tersendiri yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya ialah adanya orang Tolaki menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan Tolaki (Muslimin Suud 2005).
Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984).
Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat perkawinan Tolaki Pertama,”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua,”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga,”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat,”Mondonggo Niwule” yang artinya meminang. Kelima,”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Apa maksud ditampilkan Adat Kalosara, dalam acara upacara Adat Perkawinan Tolaki? Menurut pandangan orang Tolaki bahwa, suatu perkawinan merupakan sesuatu yang “Sakral”. Betapa tidak melibatkan kedua belah pihak keluarga besar, jika tadinya saling “cuek” alias kurang intim atau tidak saling kenal, kini disatukan menjadi “suatu kekuatan” dalam kesatuan rumpun keluarga besar posisinya adalah sebagai perkawinan yang akrab dan mulia bagi kehidupan membina keluarga agar hidupnya bahagia lahir dan batin.
Selain pandangan diatas, kedudukan pihak keluarga wanita pada dasarnya adalah, pihak yang “ditinggalkan derajatnya”. Itulah sebabnya Adat Kalosara sebagai symbol “Kebesaran” orang Tolaki itu, wajib digelar dihadapan keluarga besar wanita tersebut.
Pengertian dan Kedudukan Kalosara Dalam Perkawinan Adat Tolaki.
Ketika berbicara Kalo sebagai bahasa simbolik dalam kehidupan sehari-hari orang Tolaki, disini penulis batasi fungsi Kalo dalam pengertian sempit, hanya membicarakan urusan adat istiadat Tolaki, seperti urusan “Perapua” atau perkawinan, tidak membahas makna filosofi dalam arti luas. Apa sebab ? Karena membicarakan Kalo umumnya terdiri dari banyak macam. Seperti misalnya jika anda menjumpai Kalo sebagai benda, cukup “Kalo” saja. Beda sebutannya ketika benda Kalo digelar pada prosesi adat istiadat seperti acara “mowindahako”, disana disebut “Kalosara”. Hakikat Kalosara terdiri : wadah anyaman, kain putih dan rantai yang dililit terdiri tiga buah itu. (terlampir gambar Kalosara).
Kini diuraikan benda Kalo berdasarkan bahan pembuatannya. Bahan baku utama benda Kalo diperoleh dari alam alias hutan belantara. Secara harfiah Kalo adalah benda yang berbentuk lingkaran dari rotan kecil pilihan disebut “Uewai” dipilih tiga buah. Cara dibuat dengan lingkaran lilitan atau dipilin dari arah kiri ke kanan disebut “Kalohana”. Tiga jalur itu berbentuk lingkaran bundar atau sirkel sesuai ukuran yang sudah ditentukan. Ada dua jenis bentuknya. Jika garis menengah 45 cm disebut “Tehau Bose”, Kalo ini diperuntukan pejabat Bupati keatas. Sedangkan ukuran 40 cm disebut “Meula Nebose” diperuntukan pejabat Camat kebawah.
Setelah itu ada dua model ikatan ujung Kalo. Model pertama, jika sesudah pertautan pada simpul satunya keluar ujungnya menonjol sedangkan yang dua ujungnya dari arah kiri tersembunyi , maka model Kalo ini diperuntukan masalah adat istiadat seperti perkawinan dll. Adapun makna yang menonjol, ujung rotan itu adalah penghargaan pihak penerima. Sedangkan yang tersembunyi bermakna merendahkan diri pihak pengaju.
Model kedua, jika kedua ujung simpul rotan hingga membentuk angka 8, maka benda Kalosara tersebut dipergunakan khusus acara upacara adat “mosehe” dalam hal ini seperti penyelesaian sengketa, perselisihan dan lain-lain. Inilah yang dimaksud pengertian Kalo dalam arti luas, disana banyak dibicarakan baik Kalo sebagai “konsep” maupun Kalo sebagai bahasa “simbolik” (A. Tarimana, 1985).
Berkaitan fungsi Kalo diatas orang Tolaki masih menganggap Kalo sebagai “kramat dan sakti” yakni keberadaan benda Kalo mampu mempersatukan baik keinginan / cita-cita maupun melindungi hak-hak asasi setiap anggota masyarakat Tolaki. Namun hanya benda Kalo yang “sakti” itu mamppu menyatukan warga Tolaki dimanapun mereka berada hingga hari ini (Arsamid Al Ashari, 2011).
Pertanyaan berikutnya, dalam kedudukan Kalosara dalam perkawinan Adat Tolaki, mengapa harus “Wajib” disunguhkan Adat Kalosara dalam prosesi Adat perkawinan? Karena dengan menggelar prosesi Adat Kalosara ialah sebagai hukum Adat-Istiadat atau Norma Adat dimana kedudukannya sebagai alat “legitimasi” atau pengesahan perkawinan Adat Istiadat itu sendiri. Intinya adalah “Membangun dan membina Rumpun Keluarga”, yang mungkin pernah hilang misalnya, serta mempererat tali silaturahmi. Maka wajib melewati suatu prosesi Adat Kalosara sebagai simbol penghormatan tertinggi sebagaimana disebutkan diatas.
Kemudian dalam perjalanan sejarah Kalosara sebelum ajaran “agama Samawi “ masuk di wilayah Andolaki, menjadikan norma Akidah, kemudian diwujudkan Sara atau O’Sara sebagai nilai dan norma Adat yang harus ditaati. Itulah sebabnya ketika prosesi Adat perkawinan Tolaki yang digelar disaat acara upacara Mowindahako harus didahulukan pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan acara upacara pernikahan menurut syariat Islam yaitu pembacaan akad nikah dan ijab Kabul.
Berbicara perkawinan Islam, sah perkawinan tersebut apabila ada dua orang saksi dari pihak keluarga laki-laki dan saksi dari pihak keluarga wanita, maka resmilah Pasutri membina rumah tangga tersebut. Akan halnya pandangan orang Tolaki, selain dihadirkan saksi kedua belah pihak keluarga tersebut diatas, belum “sah” atau belum diakui sebelum digelar perkawinan adat Tolaki.
Tujuan digelar adat Kalosara adalah sebagai norma adat. Setelah itu wajib pula penyerahan “Popolo” membayar mas kawin, dilanjutkan acara “Tekonggo” yang artinya menggelar pesta besar atau kecil sebagai pengakuan masyarakat luas bahwa perkawinan tersebut resmi atau sah menurut perkawinan Adat Tolaki. Kemudian jika ada anggota masyarakat Tolaki melakukan perkawinan diluar adat tersebut diatas alias melanggar adat, maka patut dipertanyakan keberadaannya.
Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki.
Yang dimaksud prosedur dan tata cara disini adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua perangkat Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai “Sutradara” mengatur jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Seperti apa dan bagaimana tata cara acara upacara “Mohindahako” yang diperankan kedua perangkat adat diatas ? Mereka harus tampil sukses membawa missi, tanggung jawab terletak dipundak mereka. Seperti kemampuan “Negosiasi”, cara duduk, pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai secara baik, sebelum maupun sesudah acara upacara “Mewindahako”, sebabnya aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi apalagi keluar dari koridor aslinya.
Selain disebutkan diatas, wajib dipahami adalah “isi adat” disebut “Polopo” untuk ditunaikan disaat “Mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak boleh kurang menurut “Sara”, pasti kena denda adat, malah bisa ditolak sidang pemangku adat.
Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat (1) “Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri (1) seekor kerbau, (2) sebuah gong, (3) emas perhiasan wanita dan (4) satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi @ dua puluh lima ribu rupiah, kecuali kain kaci tetap ditampilkan (2) “Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat (3) “Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan (4) “Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhnya.
Jika seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Satu lagi upacara Adat perkawinan yang sering dijumpai dalam masyarakat Tolaki. Apakah Anda pernah melihat atau menyaksikan “bentuk lain” ketika digelar upacara Adat perkawinan Tolaki ? Disana ada system adat disebut perkawinan “Morumbadoleesi” yang artinya melaksanakan dua macam acara dalam waktu bersamaan yakni acara “Mendutudu” dan acara “Mondongo Niwule”. Perkawinan “Morumbadoleaha” yakni melksanaklan tiga macam acara dalam waktu yang bersamaan yaitu acara “Mondutudu, Mondongoniwule dan Mowindahako”. Disinilah adat perkawinan Tolaki dapat mengikuti perkembangan zaman. Jika tadinya 5 tahapan dapat dilakukan diasaat “Mowindahako” waktu bersamaan 4 tahapan tersebut.
Dari pelaksanaan perkawinan adat Tolaki diatas ketika mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi komunikasi bahwa “Mowindahako” orang Tolaki itu, semua bisa diatur asal isi pokoknya adat wajib dipenuhi. Disinilah peranan Tolea sebagai “negosiator”. Boleh jadi popolo bisa ringan, berlaku asas musyawarah mufakat kedua belah pihak. Apalagi pihak keluarga wanita memahami “siapa” calon mantu tersebut?. Menurut pandangan orang Tolaki, ketika “Mowada Popolo” tidak mengenal “Meoli O’ana” yang artinya membebani pihak keluarga pria membayar biaya popolo misalnya.
Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri
Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut.
Seperti apa saja perkawinan terlarang itu ? Yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung. Kecuali yang sering dilanggar seperti “Mosoro Rongo” atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada” artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung.
Ketika terjadi pelanggaran kawin “Tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara kandung istri dan semacamnya. Pada jaman tempo doeloe sebelum masuk ajaran agama masih dapat ditoleril, namun resikonya harus dicerai istri pertama. Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “Inces Tabu” diatas, maka wajib diadakan suatu upacara Adat “Mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga menolak bala atas pelanggaran perkawinan “Musibah” tersebut (A. Rauf, 1985).
Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada poin Pertama hingga keempat diatas maka, tidak ada ampun alias kompromi. Mereka harus “dibunuh” secara diam-diam atau dibuang dari kampung atau masyarakat. Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum.
Kini diuraikan wanita paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu sekali, sepupu dua kali, tiga kali, ini disebut kawin “Mekaputi” artinya ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Apa yang melatar belakangi perkawinan “Mekaputi” semacam diatas? Kata mereka agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan.
Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki
Ada lima “Model” perkawinan tidak normal bagi mereka cewek maupun cowok anak muda Tolaki, baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari alias silariang (2) Kawin sudah hamil diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale (4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks. Nah dari semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini perlakuan tersendiri.
Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi” untuk suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham alias bombe yang mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka.
Kini ditampilkan salah satu contoh kasus perkawinan resmi alias normal, namun belum dilaksanakan upacara perkawinan Adat Tolaki. Seperti misalnya kasus pasutri ketika “melangkahi” upacara Adat perkawinan Tolaki. Mungkin Pasutri tersebut tidak tahan lagi ingin cepat berumah tangga ? Hal ini diketahui ketika menikah lewat KUA. Bahkan telah memiliki “buah hati” kini duduk dibangku SD. Namun belum “dihadapkan” tokoh adat “Puutobu” dan “Toono Motuo” untuk ditangani Tolea-Pabitara alias digelar adat “Kalosara” Pasturi diatas tetap melaksanakan tahapan-tahapan perkawinan Adat Tolkai dengan menggelar acara “Mowindahan”.
Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhka kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalau ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati.
Sebagai penutup, ketika berbicara prosedur dan tata cata menggelar acara upacara Adat perkawinan Tolaki dikaitkan sebagaimana judul diatas, muncul pertanyaan dikalangan masyarakat awam. Apakah masih relevan keberadaan “upacara Adat perkawinan Tolaki” dewasa ini ? Kenyataan memang disana-sini mengalami “pergeseran nilai” atas tuntutan perkembangan zaman serta dinamikan masyarakat, namun tidak keluar dari koridor aslinya.
Jika kita amati seksama atas tinjauan perspektif upacara Adat perkawinan Tolaki secara kontekstual nampaknya mampu “menyesuaikan” kondisi dan perkembangan serta tuntutan masyarakat dewasa ini. Dimana kedudukan dan fungsi Kalosara mampu “menyemangati” prinsip “Mesambepe Meambo” yang artinya berlaku asas musyawarah mufakat dalam hal menaati koridor adat istiadat Tolaki.
Ta’abe Inggomiu Anakia, Nggo Meparamesi !
Top of Form
JENIS RUMAH ADAT TOLAKI
Jenis-jenis tempat berlindung dan tempat tinggal telah banyak mendapat perhatian dari para antropolog. Aneka bentuk perlindungan telah teridentifikasi dalam bentuk literatur antropologi beteckning. Hasil identifiksi tersebut menunjukan bahwa, tempat tinggal/berlindung yang terbuat dari kayu, bambo serat, jerami serta kulit kayu dapat dijumpai disetiap benua. Rumah yang terbuat dari tanah liat dapat dijumpai di daerah-daerah yang sangat kering sekali dengan curah hujan sangat rendah (afrika).
Secara antropologis, bentuk rumah manusia dikelompokan ke dalam tiga jenis, yaitu: rumah yang setengah dibawah tanah (semi-subterranian dwelling), rumah diatas tanah (suface dwelling), rumah diatas tiang (pile dwelling). Dari sudut penggunaannya, tempat berlindung dibagi tiga golongan, yaitua: tadah angin, tenda atau gubuk yang bisa dilepas, dibawa dan dipasang lagi; serta rumah untuk menetap. Rumah untuk menetap memiliki beberapa fungsi sosial. Diantaranya rumah tempat tinggal keluarga inti, tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum serta rumah pertahanan.
Secara universal rumah tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga), yang berarti rumah ada juga istilah yang menunjukan rumag seperti poiaha. Pada masa lalu laika pada orang Tolaki masih dikenal oleh beberapa daerah ini dapat ditelusuri dari toponimi daerah seperti Desa Laikaaha Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan di daerah ini pernah berdiri laika aha atau rumah induk yaitu rumanya penguasa Kerajaan Konawe daerah sebelah barat Tambo tepuliano Oleo Kerajaan Konawe yaitu Sorumba bekas rumah tersebut masih dapat kita saksikan secraa arkeologis. Terdapat juga nama daerah yang menggunakan nama Desa Laikaaha terletal di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Sekarang hal ini sesuai sumber yang diungkapkan oleh Paul und Frederic Sarasin (1904) yang merupakan rumah kepala adat atau kepala suku (Pu’u tobu). Bentuk tipologi rumah adat juga pernah berdiri di daerah Wawonggole yang dikenal dengan laika sorume. Pada paruh tahun 1904-1960an di daerah ini masih kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika Kataba salah satunya Kataba Pu’u tobu Tongauna, Kataba Sembe Benua, dll. Rumah tinggal ini ada beberapa jenis yang dapat dijelaskan sbb:
a. “Laika Mbu’u” (rumah induk atau rumamh pokok)
Laika mbu’u (di konawe), laika raha (di mekongga/kolaka), artinya rumah pkok. Disebut demikian karena bentuknya lebih besar daripada rumah biasa. Rumah semacam ini didirikan dipinggir kebun atau ladang menjelanga akan dimulainya panen dan biasanya ditempati oleh beberapa keluarga.
b. Rumah di kebun “Laika Landa”
Laikan landa, yakni jenis rumah tinggal yang didirikan ditengah-tengah atau dipinggir kebun dan didiami oleh satu keluarga. Rumah ini ditempati selama proses pengolaan kebun sampai selesai. Setelah selesai panen dan padi sudah selesai disimpan dilumbung padi (o’ala), rumah ini biasanya ditinggalkan jadi laika ini bukan tempat tinggal permanen.
c. Patande
Laika patande adalah jenis rumah yang didirikan titengah-tengah kebun sebagai tempat istirahat. Bentuk konstruksi bangunannya lebih kecil daripada laika landa di atas.
d. Laika kataba
Laika kataba adalah jenis rumah papan. Bahan-bahannya terdiri dari balok dan papan. Rumah ini didirikan dengan memakai sandi atau kode tertentu, jenis rumah ini masih kita temukan di daerah kabupaten konawe di kelurahan lawulo, kecamatan anggaberi yang dibangun oleh Dr. H. Takahasi Rahmani, M.Ph.
e. Rumah penguburan (Laika sorongga atau laika nggoburu)
Laika sorongga atau laika nggoburu yaitu rumah makam bagi raja (mokole/sangia) pada masa laludi kerjaan konawe atau rumah makam bagi keluarga raja, pada rumah tersebut tinggal beberapa rumah tangga budaknya untuk menjaga makam tersebut yang di dalamnya terdapat soronga. Pada masa lalu rumah soronga atau laika nggoburu terdapat didaerah meraka wilayah Kecamatan Lambuya sekarang.
f. Rumah Pengayauan “Laika Mborasaa”
Laika Mborasaa, adalaha jenis rumah yang didirikan pada suatu tempat sebagai tempat penjagaan dan sebagai tempat istirahat bagi orang-orang yang telah melaksanakan tugas mengayau (penggal kepala) ke beberpa tempat di daerah sulawesi tenggara. Pada zaman dahulu pra pemerintahan Belanda, rumah ini sering menjadi sasaran para penjahat untuk merampok orang-orang yang hendak lewat istirahat di laika mborasa’a untuk istirahat. Jenis rumah ini hanya satu buah yaitu bertempat di lalondae (kabupaten kolaka sekarang), jenis rumah ini sudah tidak ditemukan lagi.
g. Rumah tempat tinggal Raja “Komali”
Komali adalah jenis laika owose (rumah besar), khusus untuk tempat tinggal Raja. Rumah semacam ini tinggi dan kuat. Bahan-bahannya tetrdiri dari kayu, bambu dan atapnya terbuat dari rumbia. Pada bagian tertentu rumah ini ditemukan ukiran (pinati-pati).
h. Laika wuta
Laika wuta adalah jenis rumah tempat tinggal yang lebih kecil dari laika landa. Bentuk atapnya seperti rumah jengki.
i. Raha Bokeo rumah Raja di daerah Mekongga Kolaka
Raha bokeo (di kolaka), adalah jenis rumah tempat tinggal raja-raja (bokeo) Mekongga di Kolaka, ukurannya besar jumlah tiangnya 70 buah, yang terdiri rumah induk 25 tiang, ruang tambahan (tinumba) atau ancangan 20 tiang (otusa), teras depan (galamba) 10 tiang dan dapur (ambolu) 15 tiang. Sedangkan raha bokeo untuk ukuran sedang jumlah tiangnya 27 buah, yang terdiri dari rumah induk 9 tiang, ruang tambahan (tinumba) 6 tiang, teras depan (galamba) 3 tiang dan dapur 9 tiang.
j. O’ala (tempat penyimpanan padi)
O’ala yaitu jenis rumah penyimpanan. Yang dimaksud rumah penyimpanan adalah segala bangunan yang dipergunakan untuk tempat menyimpan benda-benda keperluan hidup. Bangunan ini antara lain adalah tempat menyimpan padi yang disebut o’ala (ala mbae) berarti lumbung padi.
k. Laika walanda (rumah panjang gaya arsitek Belanda)
Laika walanda adalah jenis rumah panjang. Laika walanda juga dikenal dengan rumamh pesangrahan yaitu rumah yang biasanya digunaka oleh orang-orang Belanda untuk bersantai seperti berdansa ataupun pesta. Pada ruang tengah sepanjang rumah ini ada runag kosong, sedang dibagian kiri dan kanan terdapat ruang istirahat yang lantainya setinggi pinggang dan berpetak-petak. Model rumah ini seperti asrama memanjanng.
l. Laika mbondapo’a
Laika mbondapo’a adalah jenis rumah panggung tempat memanggang kopra. Bentuknya seperti rumamh jengki yang tidak memiliki diding (orini). Lantainya lebih agak tinggi dari dasar tanah. Pada saat pemakaiannya, panggung ini diselubungi daun kelapa sambil memberi pengapian dibawahnya.
Rumah tinggal suku Tolaki adalah rumah panggung yang berbentuk persegi empat panjang. Karena pada masa lalu belum dikenal ukuran meter, maka pembuatan rumah diukur dengan depa, misalnya 5 x 7depa dan seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar